Kamis, 14 November 2013

Hukum Meminang Dalam Islam

Memilih Suami
Wali harus memilihkan suami bagi putrinya. Ia tidak boleh mengawinkannya, kecuali dengan laki-laki yang baik akhlaknya hingga bisa bergaul baik dengan istrinya dan tidak berbuat zalim kepadanya.
Seorang laki-laki berkata kepada Al-Hasan bin Ali, “ sesungguhnya aku mempunyai seseorang anak perempuan, menurut pendapatmu dengan siapa aku mengawinkan dia?” Al-Hasan menjawab, “kawinkan dia dengan laki-laki yang bertaqwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, ia tidak berbuat zalim kepadanya.”
Pinangan adalah pendahuluan dari perkawinan. Allah telah menetapkan sebelum berlangsung akad nikah antara suami dan istri supaya masing-masing dari suami istri mengenal dan perkawinan bisa dilangsungkan dengan cara yang benar dan penuh kesadaran.

Wanita yang Boleh Dipinang
Tidak boleh meminang seorang wanita, kecuali bila memenuhi dua syarat:
Pertama: Wanita itu tidak mengalami halangan syariat (hukum Islam) yang mencegah perkawinan laki-laki itu dengannya.
Kedua: Tidak didahului oleh laki-laki lain yang telah meminangnya sesuai dengan peraturan syara’.
Bilamana terdapat halangan syariat, seperti adanya sebab yang mengharamkannya untuk laki-laki itu, baik untuk selama-lamanya atau untuk sementara, atau telah di dahului laki-laki lain yang meminangnya, maka tidak boleh meminang wanita itu.

Meminang Wanita yang Sedang Menjalani Iddah
Wanita yang sedang menjalani iddah haram di pinang, baik iddahnya karena kematian suami atau karena talak, baik talak raj’i’ atau bain.
Asy-syaukani mengatakan, tidak boleh meminang di waktu iddah, kecuali dengan sindiran pada wanita yang ditalak untuk selamanya atau karena kematian suaminya. Saya katakan: ini ditunjukan oleh firman Allah Swt. :
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”
(Al-Baqarah: 235)
Ayat itu menunjukkan bahwa tidak boleh meminang dengan kata-kata yang jelas dan boleh menyindir. Kemudian Allah melarang mereka mengadakan janji kawin secara rahasia dengan wanita-wanita itu.
Firman Allah Swt.:
Akan tetapi janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada metreka) perkataan yang ma’ruf.”
Allah Swt. Tidak membolehkan, kecuali perkataan yang ma’aruf. Maka meminang wanita yang menjalani iddah dengan kata-kata yang jelas atau menyebut sesuatu yang buruk ketika berbicara tidak di perbolehkan.

Melihat Wanita yang Dipinang
Laki-laki yang meminang harus mengetahui wanita yang dipinangnya dengan cara melihat, supaya dapat kejelasan dalam urusannya dan mengetahui kadar kecantikan dan kadar keburukannya dan lain-lain. Pandangan ini boleh, kecuali pandangan lain yang di haramkan Allah kepada hamba-hamba-nya.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang lelaki boleh memandang wajah dan kedua telapak tangan saja, karena dengan memandang wajah akan diketahui kecantikan dan keburukannya, dan dengan memandang kedua telapak tangan dapat mengetahui kesuburan badan atau tidaknya.
Begitu pula wanita boleh melihat laki-laki calon suaminya, karena wanita juga menyukai laki-laki sebagaimana laki-laki menyukainya.
Dari mughirah bin Syu’bah, bahwa ia meminang seorang perempuan, kemudian Nabi Saw. Bersabda, “Lihat dia, karena hal itu lebih patut untuk melanggengkan hubungan antara kamu berdua.” (H.R. Lima Imam, Kecuali Abu Dawud)
Jabir mendengarkan Nabi Saw. Bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian meminang perempuan dan mampu melihat sesuatu yang mendorong untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukan.”
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Izin Wali
Dari Abi Musa, dari Nabi Saw., beliau bersabda:
Nikah tidak sah, kecuali dengan izin wali.” (H.R. Lima Imam Kecuali Nasa’i)
Dan berdasarkan sabda Nabi Saw:
Nikah tidak sah, kecuali dengan izin wali dan dihadiri dua saksi yang adil. Bila melakukan nikah tanpa cara itu, maka nikahnya batil.”
(H.R. Ibnu Hibban)
Dari Sulaiman bin Musa dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa Nabi Saw. Bersabda:
Wanita menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batil, jika sudah menggaulinya, maka wanita berhak atas mahar karena sudah ia halalkan kemaluannya. Jika terjadi perselisihan diantara mereka, maka penguasa menjadi wali bagi siapa yang tidak punya wali.”
(H.R. Lima Imam Kecuali Nasa’i)

Wali yang Paling Utama
Wali yang paling utama adalah ayah, kemudian kakek (ayah dari ayah) saudara laki-laki seayah dan seibu atau seayah, kemudian anak lelakinya, kemudian ashabah-ashabah lainnya. Tidak sah akad nikah, kecuali dengan izin wali laki-laki dan di hadiri dua saksi yang adil.
Firman Allah Swt.:
Maka janganlah kamu (para wali) mereka kawin lagi dengan calon suaminya.”
Ayat itu turun berkaitan dengan peristiwa Ma’qil bin Yasar ketika ia bersumpah tidak mengawinkan saudara perempuannya dari laki-laki yang mentalaknya.
Ayat itu menunjuk kepada wali pihak perempuan, walaupun wanita itu mampu menikahkan dirinya, namun wali tidak dilarang menghalanginya. Mayoritas ulama salaf dan khalaf menyatakan bahwa wanita harus mendapat izin dari walinya ketika kawin.

Sumber : Fiqih Muslimah
Semoga Bermanfaat  ^Dwiie Nur Fadhila^